Te echo de menos, mi azul

Seseorang itu membuat aku tertawa begitu lepas saat dia menceritakan banyak lelucon di awal-awal pertemuan kami. Banyak persamaan diantara kami yaitu kami sama-sama menyukai warna biru walau karakter sudah jelas berbeda. Dia seorang yang ekstrovert dan aku introvert. Namun perbedaan itu justru melengkapi kekurangan dan kelebihan kami. Sampai kami berdua merasa nyaman dan memutuskan untuk menjalin hubungan baik.

Suatu hari aku melihat dirinya yang begitu unik, berbeda, aneh namun disitulah aku merasa beruntung mengenalnya. Tidak banyak orang yang bisa menjadi dirinya sendiri seperti dia. Tapi aku tidak pernah suka jika dia bermesraan dengan rokok. Aku selalu melarangnya dan dia selalu berusaha meski sangat sulit dan masih saja tidak mampu jika tidak bercumbu dengan rokok. Mungkin suatu hari nanti dia bisa berhenti merokok untuk kesehatannya sendiri.

Dia suka kegiatan mendaki gunung. Kami pernah berada di tempat yang sama di waktu yang berbeda sebelum kami bersama. Mahameru. Dan kami pernah berada di tempat yang sama di waktu yang sama karena kami memang pergi bersama ke gunung salak dan prau. Tapi kami tidak pernah bisa sampai ke puncak. Mungkin disitulah kami seharusnya menyadari ada yang salah dengan hubungan kami. Tapi perjalanan bersama dia bagiku sangat menyenangkan walau sempat membuatku sedikit kecewa. Itu pertama kalinya aku pergi jauh naik motor berdua, naik bus berdua, tinggal naik kereta ama pesawat yang belum jadi.

Dia sedikit keras kepala, namun dia selalu berpikir bijak ketika kami bertengkar. Dia mau masalah itu langsung diselesaikan dan dibicarakan. Setiap kali dia berbicara rasanya dia selalu benar atau kadang merasa benar. Komunikasi kami semakin memburuk ketika hubungan ini ada yang tidak setuju. Aku sedih walau berpisah itu tak semudah yang mereka ucapkan padaku. Aku tetap menjalani hubungan itu, sebut saja "backstreet". Ya walaupun mereka juga tahu kalau aku masih sering jalan bersama jika aku sedang tidak bawa motor.

Sampai suatu saat aku merasa berada di situasi yang sangat tertekan. Setelah berpikir panjang akhirnya aku memutuskan untuk berpisah dengannya. Aku yang merasa dia kurang berjuang untuk menyakinkan bahwa dia orang yang tepat untukku. Atau mungkin aku yang sudah mulai jengah menghadapi semua tekanan ini. Atau kah ego kami berdua yang membuat semuanya menjadi seperti ini. Jika mama tidak melarang, jika dia mau lebih berjuang, aku masih ingin bertahan.

Kami pernah berbicara tentang rumah sederhana yang dipenuhi dengan tanaman pepohonan. Segala sesuatu yang berwarna biru. Mungkin semuanya hanya menjadi angan saja. Kadang hidup tidak seperti apa yang diharapkan. Terimalah dan hadapilah.

Terkadang rindu selalu menghampiri tanpa pernah diundang. Mengingat senyumannya dan kenangan indah saat bersamanya seolah menutupi semua lumpur yang pernah kami buat. Aku tidak menyesal mengenal dia. Sederhana dan apa adanya serta dia tipikal orang yang mau belajar. Suatu saat nanti aku ingin melihat dia membahagiakan kedua orangtuanya meski itu bersama dengan orang lain. Andai kami masih bisa berteman baik, mungkin kami bisa naik gunung bersama dan menggapai puncak sebagai teman yang saling menyemangati.

Setelah perpisahan itu, dia selalu membuat ku membencinya dengan ucapannya yang kasar dan sikapnya yang arogan tapi aku tahu itu hanyalah cara agar aku mudah melupakannya. Aku tahu dia tidak seperti itu. Dia sebenarnya baik ma... hanya kadang dia tidak tahu cara yang tepat menunjukkan kebaikannya.

Aku hanya sedikit kecewa mengapa dia tidak memelukku erat saat aku berpikir untuk berpaling? Mengapa dia tidak mau menenangkan badai agar aku tetap tegar untuk berjalan? Ternyata itu hanya sebuah lagu, tidak berarti apa-apa. Aku pikir dia lelakiku.

"Memaafkan bukan siapa benar dan siapa salah tapi ini tentang hubungan yang jauh lebih berharga dari ego kita."

040814150315

Comments

Popular Posts